REVOLUSI MENTAL ADA PADA DIRI KITA

Non Fiksi, Opini

images?q=tbn:ANd9GcSHgVgzinWCvotKA1wiDeroGs8A49 Orujf2qwH ycFEImNl 56

Istilah “Revolusi Mental” mendadak fenomenal ketika masa kampanye pilpres 2014 lalu. Frasa ini merupakan jargon yang diusung oleh Joko Widodo dan ditengarai menjadi salah satu kekuatan yang mengantarkannya menuju Istana. Isi atau muatan yang terkandung dalam revolusi mental menurut Jokowi (sapaan akrab Joko Widodo) adalah mengembalikan karakter warga Negara Indonesia kepada hal-hal yang telah menjadi identitas asli bangsa Indonesia. Revolusi mental adalah antitesis dari kondisi saat ini, dimana adanya degradasi moral yang berpotensi besar mengubah pola pikir atau mindset kita.

Namun bagi segelintir orang, terutama bagi yang gagal move on pasca pilpres kemarin, revolusi mental seperti hanya milik Jokowi saja. Revolusi mental belakangan ini hanya menjadi bahan olok-olok dan sinisme. Hal ini lantaran di awal-awal masa kepemimpinannya, presiden mengambil tindakan-tindakan yang tidak populis, mulai dari menaikkan harga BBM bersubsidi dari Rp. 6.500 menjadi Rp. 8.500 hingga menghentikan sementara kurikulum 2013 melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dasar Menengah (Mendikbud-Dasmen), bahkan kini dianggap sebagai “lelucon pencitraan” pada saat menghapus subsidi BBM untuk premium sehingga harganya kini turun menjadi Rp. 7.600 bahkan berpotensi kembali ke harga semula yaitu Rp. 6.500.

Seperti telah disebutkan di awal, bahwa revolusi mental ini ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya milik Jokowi semata. Jadi tidak perlu sakit hati sambil mengatakan “SALAM GIGIT JARI” atau bertanya-tanya, “REVOLUSI MENTAL, MANA?”. Karena sebenarnya jawabannya ada di dalam diri kita sendiri. Jadi keliru kalau kita berpikir bahwa seorang Jokowi akan mampu merevolusi mental seluruh rakyat Indonesia. Maksudnya adalah, presiden dengan jajaran pemerintahannya akan berusaha memfasilitasi semua sektor yang berhubungan dengan karakter bangsa, seperti melalui pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum tanpa pandang bulu. Jadi jangan terlalu cepat memvonis bahkan hingga menciptakan percikan su’udzon dalam diri. Bukankah pemerintahan baru berjalan selama dua bulan? Tetapi mengapa terjadi aksi unjuk rasa yang terkesan anarkis, atau pemberian dana kompensasi malah salah sasaran? Nah inilah yang dimaksudkan tadi, bahwa seseorang jangan hanya melihat dari satu sudut pandang saja, coba lihat dan ukur bagaimana moral mereka sehari-hari. Apakah sudah ada yang mengamatinya secara seksama? Ingat suka su’udzon juga mencerminkan mental yang sudah jatuh.


Tinggalkan Balasan