Revolusi mental, Mana?

Opini

Revolusi mental, Mana

oleh Zulkarnaen (E1C112141)Vb

 

Revolusi mental, sebuah jargon andalan Presiden Jokowi dan Pasangannya Jusuf Kalla saat bertarung dalam pilpres 9 juli 2014 lalu melawan Pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Namun, hingga saat ini setelah menjadi presiden terpilih jargon andalan tersebut belum bisa terimplementasikan, justru sebaliknya pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh presiden Jokowi seakan melupakan revolusi mental tersebut. Jokowi yang diusung oleh Koalisi Indonesia Hebat ini justru selalu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang seakan-akan sangat berlawanan dengan jargon revolusi mental yang sering diumbar-umbarkan saat berkampanye.

BBM Naik, Mental Turun

Pada tanggal 18 November 2014, Presiden Jokowi resmi menaikan harga BBM Premium bersubsidi dari Rp.6500 menjadi Rp.8500 dan BBM Solar bersubsidi dari Rp.4500 menjadi Rp.7500, besaran kenaikan harga kedua jenis BBM tersebut adalah Rp.2000 . Sontak, kenaikan harga BBM bersubsidi secara sepihak oleh pemerintah tersebut menuai kecaman dari berbagai lapisan masyarakat di seluruh Indonesia. Terjadi aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah, aksi demonstrasi tersebut selalu diwarnai aksi anarkisme dari para pendemo dan aparat penegak hukum. Salah satunya terjadi di kota Makasar, bahkan bentrokan terjadi antara demonstran dan masyarakat sekitar. Hal ini menunjukan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi yang memiliki jargon andalan revolusi mental ini justru menghancurkan mental masyarakatnya dan terkesan memecah belah persatuan masyarakat dengan kebijakannya yang sangat kontroversial ini karena menaikan harga BBM ditengah harga minyak dunia yang sedang turun. Selain itu yang membuat mental masyarakat Indonesia semakin menurun adalah pemberian dana konpensasi BBM, pemberian dana ini seakan-akan memanjakan masyarakat dan membiasakan masyarakat terus bergantung pada dana konpensasi kenaikan BBM. Pencairan dana konpensasi ini juga memiliki polemik yang dinilai menumbangkan nilai-nilai yang berorientasi pada penguatan mental, salah satunya adalah terlihat dari warga yang mengantri untuk mencairkan dana tersebut ternyata warga mampu, ini menunjukan bahwa masyarakat sudah tidak malu-malu lagi untuk mengambil hak yang bukan miliknya. Tentu saja ini merupakan cerminan bahwa mental masyarakat sudah jatuh.

 Penghentian Kurikulum 2013

Penghentian kurikulum 2013 oleh Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah ini sarat dengan kontroversi, ada guru-guru yang mendukung kebijakan ini dan ada pula guru-guru yang menolaknya. Para guru yang mendukung kebijakan Anis Baswedan ini beranggapan bahwa implementasi kurikulum 2013 ini masih belum optimal dan dinilai masih banyak permasalahan-permasalahan dalam pengimplementasiannya sedangkan para guru yang menolak kebijakan ini menilai langkah Anis Baswedan ini adalah sebuah langkah mundur dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pada dasarnya, Kurikulum 2013 ini sebenarnya bisa digunakan sebagai sarana untuk mengimplmentasikan jargon andalan “Revolusi Mental”, sebab dalam kurikulum 2013 pendidikan berbasis karakter lebih ditekankan. Dengan alasan kurangnya sosialisasi, Anis Baswedan menghentikan kurikulum 2013 ini padahal sebenarnya sosialisasi-sosialisasi melalui pelatihan-pelatihan dan seminar-seminar guru telah dilakukan. Penghentian kurikulum 2013 ini seakan-akan menunjukan pemerintah melupakan “Revolusi Mental”.

Ditengah-tengah masyarakat yang mendambakan revolusi mental seperti yang dijanjikan Jokowi saat berkampanye, sadar atau tidak sadar di awal pemerintahannya, Jokowi telah melengserkan nilai-nilai fundamental masyarakat dengan kebijakanya yang selalu menimbulkan polemik di masyarakat seperti yang telah dijelaskan diatas. Penjelasan diatas hanya sebagian kecil dari kebijakan pemerintah yang kontroversial serta bertolak belakang dengan Jargon Andalan “Revolusi Mental”. Alangkah lebih arifnya seorang pemimpin pemerintahan jika ingin mengeluarkan kebijakan yang dinilai akan menimbulkan polemik di masyarakat, memberikan sosialisasi-sosialisai sebelum mengeluarkan kebijakan yang tidak pro-rakyat tersebut dalam rangka mempersiapkan masyarakat secara mental dalam meghadapi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat.


Tinggalkan Balasan