sang BELIAN
“Kenapa hidup semakin sukar saja rasanya.” Katanya lebih ke diri sendiri. Namun, istrinya yang juga merasakan hal serupa dengannya, menjadi sangat peka bahkan untuk suara terkecil sekalipun. “Dimana Tuhan yang selalu menjanjikan pertolongan itu” katanya lebih putus asa.
Amaq Kartiadi diam, dalam hati membenarkan kata-kata istrinya. Daun-daun asam dihadapannya berguguran dan berserakan di halaman, di atas tanah yang pecah tak beraturan. Sementara istrinya disibukkan oleh lalat-lalat yang menyerbu nakal luka dibetisnya. Sepi kini telah berkuasa.
Empat bulan yang lalu terakhir kali rumah mereka mendapat kunjungan dari orang-orang yang hendak berobat. Saat para warga, yang berasal dari desa tempat tinggal mereka maupun desa tetangga sering sakit-sakitan. Ketika itu, amaq Kartiadi yang merupakan belian satu-satunya di daerah itu menjadi solusi utama bagi para warga.
Kehidupan yang bergerak merambat menjalari waktu ternyata telah menawarkan begitu banyak perubahan. Memaksa amaq Kartiadi keluar dari arena yang sedang ia jalani. Rumahnya sepi, sesuatu yang diharapkan oleh para warga telah menjadi kenyataan, keadaan warga selalu sehat walafiat. Hal ini juga selalu didambakan oleh amaq Kartiadi. Sampai akhirnya ia sadar satu hal, kalau ia hanya akan dapat tetap hidup jika para warga berobat kepadanya. Kemudian harapannya berubah 180 derajat, ia hanya ingin para warga sakit-sakitan lagi seperti dulu. Penderitaan mereka adalah sumber kehidupan baginya.
Ketika ia sudah cukup banyak merasakan hasil dari pekerjaan ‘menunggunya’. empat bulan yang lalu, hingga kini. Tak ada lagi yang mendatangi rumahnya. Kebahagiaan para warga dengan sendirinya mendatangkan penderitaan untuknya. Sampai akhirnya ia mengerjakan pekerjaan lepas demi menyambung hidup. Mengangkut dan mengupas kelapa, dan berbagai pekerjaan lainnya.
Apa yang telah menimpa dirinya membuat ia berpikir kalau ia telah dikutuk oleh Tuhan. Pekerjaan lepas yang ia lakukan cukup memberi penghidupan untuk dia dan istrinya. Namun itu hanya sesaat. Dengan secepat kilat mesin-mesin dari kota masuk ke desa dan menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya diselesaikan oleh manusia secara lebih mudah dan cepat. Akibatnya, amaq Kartiadi kehilangan langkah, kebingungan telah menjerat dirinya. Tak ada keahlian yang ia miiki. Sementara, masih saja tak ada orang yang sakit seperti beberapa bulan yang lalu.
Daun asam semakin banyak memutuskan garis-garis permukaan tanah halaman rumah itu. inaq Kartiadi memerhatikan suaminya yang memandang kosong pada tumpukan dedaunan itu, tetapi jelas suaminya sedang memikirkan sesuatu. Ia sudah cukup tahu apa yang ada dalam pikiran suaminya, ia juga takkan membiarkan suaminya tenggelam lebih dalam pada apa yang sedang ia pikirkan,
“ada apa pak?”
“kemana lagi kita bisa mencari uang buk”
Inaq kartiadi diam mematung, sebagai istri ia tidak bisa membantu apa-apa. Seorang istri bertugas hanya di rumah dan menunggu suami, menerima hasil kerja suami. Ikut bekerja membantu suami sama saja dengan menghancurkan nama baik keluarganya, “suami tidak berperasaan, tidak becus” dan masih banyak ejekan lain yang sudah barang tentu akan sangat menyakiti perasaan suaminya. Kalaupun begitu, ia tetap berusaha untuk mengurangi beban pikiran suaminya,
“nanti aku akan mencari kerja untuk keuangan kita, kasih saya kesempatan untuk membantu pak, saya bisa usaha kecil-kecilan asal bapak mengizinkan”
“modalnya darimana?”
“nanti kita bisa pinjam dulu di pak RT”
“kalau untung, kalau tidak bagaimana? Hanya akan menambah beban saja”
“kalau kita diam terus, kita mau makan apa pak? Atau jangan-jangan bapak masih mengharapkan ada orang yang sakit dan datang berobat, begitu?”
Amaq kartita terkejut, kata-kata istrinya telah terlalu berani. Tapi biar bagaimanapun, dalam hati ia membenarkan istrinya, ia memang sedang mengharapkan ada orang sakit, satu saja, hanya untuk permulaan. Bahkan ia mengharapkan Tuhan menurunkan sakit yang sifatnya menular, agar banyak warga yang meminta obat padanya.
“kenapa diam pak?”
“seandainya saja para warga masih sering sakit seperti dulu” amaq kartiadi setengah berbisik,
“ia, kita takkan sesusah sekarang”
Amaq kartiadi mengenang lagi masa-masa kejayaannya beberapa bulan lalu, ia tak pernah kekurangan uang. Makanan dan juga rokok selalu tersedia melebihi kebutuhan. Sehingga dengan tangan terbuka ia menerima setiap orang yang datang ke rumahnya. Istrinya juga membayangkan hal yang sama. Saat itu, ia tak ada beban menjalani kewajiban sebagai istri. Tidak ada kesusahan yang membuat hari-hari mereka tidak menyenangkan. Mereka serba berkecukupan.
***
Malam itu, sinar rembulan tanpa malu-malu menyelinap masuk melalui celah dinding rumah amaq Kartiadi. Ia susah tidur, kesadaran akan keadaan hidup dan perannya membuat ia semakin tertekan. Ia berusaha tertidur tapi dadanya seperti tertikam tombak, kepalanya dipalu, ia menderita lahir batin.
Tiba-tiba saja, istrinya yang tertidur pulas terbangun dan mengerang kesakitan,
“Aduuhh aduuh kakiku pak, kakiku lumpuh”
Ia cepat bangun dan mendapati betis istrinya yang terluka telah membengkak, seperti telah digigit ular. Meskipun ia seorang belian ia sempat kebingungan sebelum ia mengambil sebotol obat penawar yang digantungkan diatas pintu rumahnya, di oleskannya minyak itu di betis istrinya yang bengkak, namun istrinya semakin mengerang kesakitan.
Esok harinya, kabar tentang inaq Kartiadi yang tidak bisa beranjak dari tempat tidur menyebar dengan cepat. Bahkan sampai desa-desa tetangga. Banyak yang berdatangan menjenguk inaq Kartiadi. Termasuk pak RT dan pimpinan agama di desa itu.
Rumah amaq Kartiadi mendadak menjadi ramai. Para warga yang merasa berhutang budi karena telah disembuhkan dulu oleh amaq Kartiadi, kini tak ingin ketinggalan untuk memberikan balas budi. Mereka membawa berbagai makanan, uang dan kebutuhan lain. Mereka sangat tahu keadaan keluarga amaq Kartiadi.
Amaq kartiadi melihat ini sebagai suatu peluang. Ia tidak akan mengobati istrinya, dengan begitu orang-orang akan tetap mendatangi rumahnya. Ia akan mengumpulkan sebanyak-banyaknya pemberian warga. Sampai mencukupi kebutuhannya sebelum ia mendapatkan pekerjaan baru.
Malam-malam berlalu, istrinya tetap mengerang kesakitan. Sementara berbagai macam makanan dan uang semakin banyak yang ia dapatkan. Pikirannya terus tertuju pada hari esok, tentang siapa saja yang akan datang dan apa yang dibawanya. Sedang istrinya dibiarkan kesakitan sampai ia tertidur dalam penderitaannya.
Ketika subuh, tidurnya yang pulas dipatahkan oleh teriakan keras istrinya. Tinah seperti orang kesurupan. Ia menggeliat-geliat kesakitan sampai rintihannya mengiris hati setiap orang yang mendengarnya. Kecuali suaminya. Ia melihat hal ini sebagai kesempatan yang brilian. Nanti akan semakin banyak orang yang datang ke rumahnya, ia tahu persis masih sangat banyak orang yang telah ia obati dan belum datang untuk menjenguk istrinya.
Matahari memanjat pelan, ia duduk di berugak bersama tetangga-tetangganya. Membicarakan istrinya yang tidak kunjung sembuh dan obat apa saja yang telah ia berikan. “Sudah begitu banyak obat yang telah ia telan” katanya. Tetapi dalam hati ia melanjutkan dan lumayan banyak uang yang telah terkumpul.
Saat mereka sedang mengobrol, teriakan istrinya terdengar lebih keras dari sebelum-sebelumnya. Sontak para warga berhamburan masuk untuk mengetahui apa yang terjadi. Di atas tikar panjang yang telah lusuh, tinah menggeliat-geliat kesakitan.
Amaq kartiadi cepat mendekati istrinya. Dan tiba-tiba saja dadanya sesak melihat setapak wajah dihadapannya yang begitu pucat dan tak berdaya. Tak ada harapan sedikitpun yang tercermin disana untuk dapat terus menjalani hidup seperti biasanya. Tinah telah tertekan jauh ke dasar hingga tak seorang pun tahu cara mengembalikannya ke permukaan. Sakit yang hanya beberapa hari dari luka kecil di betisnya telah merenggut segalanya, hidup dan harapan untuk membantu suaminya menghasilkan uang.
Dari sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Ia dengan bersusah payah berusaha agar matanya tetap terbuka dan menatap lekat wajah suaminya yang memandangnya dengan penuh kesedihan. Satu-satunya hal yang tidak ingin ia lakukan di dunia ini adalah meninggalkan suaminya, terlebih dalam keadaan seperti yang ia jalani. Namun ia merasakan bahwa ia sama sekali tak mampu melawan tangan-tangan yang terasa seperti mengaduk-aduk dadanya itu. ia mulai susah bernafas tak mampu lagi membuka mata. Meskipun begitu, ia terus membayangkan wajah suaminya sampai akhirnya ia tak ingat apa-apa lagi.
Amaq kartiadi beku dalam kediamannya, melihat tubuh istrinya terbujur kaku tak berdaya. Tak ada air mata yang menetes dari matanya. Ia tak tahu persis apa yang ia rasakan, bahkan jika ia menangis saat itu ia takkan pernah tahu dari mana airmatanya berasal.
Hampir satu jam berlalu, ketika para warga sibuk dengan berbagai macam hal. Amaq Kartiadi tetap bersimpuh di dekat tubuh istrinya. terendam dalam kubangan duka yang sama sekali tak diharapkan itu, ingatannya mulai mengarah pada berbagai hal yang telah ia lakukan sejak pertama kali istrinya tidak mampu beranjak dari tempat tidurnya. Ketika ia mengumpulkan barang-barang bawaan para warga, mengumpulkannya didekat istrinya agar istrinya tahu, bahwa para warga telah datang menjengukknya. Saat ia mengharapkan semakin banyak warga yang datang menjenguk istrinya dan mendapatkan lembaran-lembaran uang yang semakin sukar untuk dia dapatkan. Ia ingat ketika ia hendak mengobati istrinya namun tiba-tiba tebersit ide dikepalanya agar tetap membiarkan istrinya sakit sampai uang yang terkumpul telah mencukupi kebutuhan mereka dikemudian hari.
Akhirnya matanya mulai basah, ia menangis. Tangisan yang berasal dari penyesalan. Penyesalan yang lahir dari kesalahannya sendiri. kesalahan yang selamanya takkan pernah ia bisa perbaiki. Ia mengutuk dirinya sendiri atas apa yang telah ia lakukan.
Para warga berdatangan untuk melayat, berbakul-bakul beras dan gula pasir telah terkumpul. Namun amaq kartiadi hanya memandang kosong, yang terbayang di benaknya hanya istrinya dan dosa besar yang membuatnya ingin kematian datang menjemputnya saat itu juga.
(10/10/14; 12.00)
Catatan :
Belian : tabib/dukun, orang yang menggunakan mantra sebagai media pengobatan.
Inaq : ibu
Amaq : ayah.