SASTRA PERLAWANAN
Buku “sastra perlawanan” dapat dibilang buku yang membawa ‘angin segar’. Di tengah hiruk-pikuk isu liberalism, terorisme, hedonism, budaya pop, dan semacamnya, ‘sastra perlawanan’ menghentak kita: banyak ancaman yang terabaikan. Jadinya, kita terjebak pada dinamika sosial-budaya semua. Pun, sastra seolah berjalan di tempat. Karya Sastra tidak lagi mampu menghadirkan dirinya sebagai medan dialektika. Parahnya lagi, karya sastra tidak mampu lagi berbicara yang abadi, yaitu kebenaran. Karya sastra telah terjebak pada realitas yang relatif, terkonstruk, dan Imajinasi tak berpihak. Sehingga, suara perlawanan buku “sastra perlawanan” seolah-olah ingin menyadarkannya, bahwa sastra bukan semata-mata berkontemplasi, menulis, dan berjualan ide. Tapi sastra yang baik sastra berangkat dari keresahan masyarakatnyta dan berpihak pada masyarakatnya.
Dalam sejarah bangsa ini, karya sastra merupakan ‘cacatan’ pendamping momen kebangkitan. Tahun 1920-an, sastra menjadi dentang awal kesadaran kebangsaan. Pada fase ini, lahir tokoh-tokoh yang berkarya dengan kesadaran untuk merumuskan dan nilai-nilai dan identitas kebangsaan: Marco Karyodikromo, Semaun, Armij Pane, dan semacamnya. Setelah bangsa ini merdeka, sastra menggeser peranannya. Sastra menjelma medan dialektika untuk merumuskan bagaimana seharusnya kemerdekaan itu dimaknai dan dinikmati? Puncaknya, meletunya seteru Lekra vs manikebu. Prahara kebudayaan tahun 1960-an ini, tidak hanya sekadar perebutan otoritas wacana kesastraan. Tapi, sastra menjadi medan penting untuk mengarahkan dan membentuk karakter bangsa yang merdeka, berdaulat, dan adil-makmur. Tak pelak lagi, sastra seolah-seolah terlibat langsung dalam dunia politik. Pada fase ini, para pengarang dipaksa untuk saling berhadap-hadapan satu sama lainnya: pengarang yang tergabung dalam kelompok lekra (Pramoedya Ananta Toer, S. Anantaguna, Bakri Siregar, dan seangkatannya) berhadapan dengan kelompok manikebu (Jassin, Goenawan Mohammad, dan seangkatannya)
Di masa orde baru, sastra –meminjam kata-kata ‘ketika jurnalisme dibungkam, sastra bicara- menjadi media alternative untuk menyuarakan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, insiden kemanusiaan, dan persoalan runyam lainnya. Seperti diketahui, Orba dengan stabilitas nasionalnya, mengunci kran-kran yang dapat mengganggu, termasuk pers. Dapat dibilang, pada masa orde baru, bangsa ini seolah-seolah kembali terjajah. Dan para pengarang pun seolah dipaksa untuk melawan dengan keadaan ini dengan karyanya. Pada fase ini sastra melahirkan para pengarang di bawah lars senapan: Seno Gumira Ajidarma, Wiji Thukul, dan lainnya.
Buku ini juga menyarankan, pertarungan dalam dunia sastra hendaknya bukanlah pengang vs pengarang. Tapi pengarang vs kekuasaan. Dengan kata lain, pengarang tidak melulu mempersoalkan estetika semata, tetapi pengarang harus lebih peka dan berani dalam menyikapi berbagai insiden kemanusiaan, terutama yang diakibatkan oleh birahi kekuasaan.
2.
Tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku sastra perlawanan hendak membongkar beberapa kemajuan sosial-budaya hari ini. Pertama, silsilah ketakbenaran. Ketakbenaran yang dimaksud dalam buku ini, adalah praktik-praktik KKN yang sudah menjadi tradisi masyarakat kita. Ini dapat dilihat pada kasus rekrutmen PNS. Dalam setiap rekrutmen PNS, para calon tidak terbebani untuk meningkatkan kemampuan (skill) dan tanggungjawab sebagai abdi Negara. Tapi para CPNS ini dihadapkan pertarungan siapa banyak uang, dia menang. Praktik KKN semacam ini, akan membawa masyarakat kita pada kebudayaan yang menjijikkan (hlm. 10). Ini diperparah dengan adanya scenario pembodohan yang dilanggengkan oleh para penguasa.
Kedua, relavitas kebenaran. Kebenaran, entah bagaimana pun, bukanlah yang abstrak. Dia dapat dilihat, dirumuskan, dimaknai dan disikapi. Pembunuhan Mesuji, kerusuhan Bima, dan insiden massal lainnya, bukanlah hal yang abstrak. Bukanlah kejadian yang multi tafsir. Dalam berbagai kasus tersebut, ada pihak yang dibunuh, ada pihak yang membunuh. Pembunuhan tersebut bukan hal abu-abu untuk ditafsirkan.
Ketiga, kesadaran bahasa. Seyogyanya, bahasa alat komunikasi. Dengan bahasa ide, emosi, dan ekspresi kita lainnya dapat tersampaikan. Sehingga lambat laun, bahasa menjadi alat vital membangun kontruksi social. Bahasa pun jadi instrumen untuk menguasai. Di sini, bahasa mesti dipahami sebagai media tidak bebas nilai. Sehingga, kalau ada Presiden berpidato santun, atau suaranya dalam ketika tersinggung, atau kalimat-kalimat panjang politisi, maka para pengarang dengan kesadaran humanis kritis mesti mampu membongkar hasrat kekuasaan di balik itu semua.
Keempat, peran dan posisi pengarang. Sastra yang baik adalah sastra yang kembali (berpihak) pada masyarakatnya. Ini tidak terlepas dari kenyataan, sastra dipahami sebagai karya yang lahir dari realitas social masyarakatnya. Sehingga, karya sastra hendak menyuarakan ketidak adilan, mengkritisi kesewenang-wenangan, dan melontaskan pencerahan.
Isu perlawanan buku sastra perlawanan adalah isu segar. Ia menyarankan imajinasi kita untuk tidak hanya mencerap, mencerna, dan mengolah peristiwa sebagai dunia baru. Berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat hendaknya dinilai, disikapi, kemudian disuarakan. Tapi buku sastra perlawanan juga memuat oposisi-oposisi bahasa (pernyataan) yang bertabrakan atau kabur dari pendefinisian atas realitas. Pertama, buku ini, baik langsung ataupun tidak langsung, menyarankan untuk berani, menilai dengan objektif, dan berbicara apa adanya. Tapi dalam beberapa hal, buku ini justru membicarakan sesuatu yang dari sisi ‘abstrak’. Persoalan KKN dalam proses seleksi CPNS disuguhkan dengan pengandaian. Seolah-olah ‘rahasia umum’ koncoisme CPNS dapat dipertanyakan: benar tidak ya cerita ini?
Kedua, buku ini seolah-olah mengajak pembaca untuk berpikir dialektis. Satu persoalan memiliki dampak, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sebab itu, dibutuhkan kesadaran, keberanian, dan kebebasan. Ajakan ini pun berbenturan dengan peristiwa-peritiwa yang diangkat semata-mata di permukaannya saja. Ini dapat dilihat bagaimana pembicaraan tentang FB (facebook), yasinan, Rieke Dyah Pitaloka Demo, dan semacamnya. Penulis tidak berupaya untuk menerka realitas di balik realitas. Politik media, tafsir kebudayaan, dan isu politik menjadi terabaikan.
Ketiga, buku ini seolah-olah menngingatkan tentang bahaya bahasa. Bahasa hendaknya tidak dipahami sebagai komunikasi semata. Tapi bahasa juga mesti ditempatkan sebagai alat yang dapat mengkonstruk pola pikir dan tatanan kebudayaan. Tapi, sekali lagi, penulis tidak memerhatikan bahasa itu sebagai instrument mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahasa digunakan ‘semau gue’. Ini dapat dilihat pada beberapa kutipan yang cukup mengganggu: kebakuan (gak, FB (tidak ada penjelasan FB singkatan dari facebook),), pengutipan, sintaksis, dan semacamnya. Dengan kata lain, keinginan untuk melakukan pebcerdasan dengan bahasa yang sedikit amburadul, seperti bermimpi tanpa tidur.
Keempat, buku ini seolah-olah berbicara dengan objektif (:berdata). Tapi ada beberapa persoalan yang diangkat tidak berdasarkan data yang cukup kuat untuk dipertanggungjawabkan. Ini dapat dilihat pada halaman 96: Setelah Rendra, muncullah Pramoedya Ananta Toer di pertengahan tahun 1980-an… Pernyataan Pramoedya Ananta Toer muncul di tahun 1980-an cukup bertolak-belakang dengan kenyataan: Pramoedya merupakan sastrawan yang dapat digolongkan dalam angkatan 1950-an atau 1960-an. Ini mengacu pada buku A. Teeuw Sastra Indonesia Modern I dan II, dan buku sejarah sastra lainnya. Hal yang dapat dibilang cukup fatal terjadi pada halaman 126: …
dalam bukunya Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer, menceritakan perempuan tidak lebih menjadi media pelatihan pria menuju kesejatiannya untuk menikahi perempuan lainnya yang lebih sederajat atau bangsawan, akan tetapi tetap dijadikan perhiasan dalam sangkar emas, tetap menjadi alat untuk memproduksi keturunan, tidak lebih dari itu. Meskipun tragis, melalui karya ini Pram menampilkan perempuan yang memberontak. Tokoh Srintil adalah gadis yang melawan kesewenang-wenangan terhadap dirinya justru dengan kesadaran untuk melakoni hidup sebagai seorang ronggeng yang dianggapnya adalah pilihan untuk memberontak.
Adanya tokoh Srintil yang menjadi ronggeng dalam novel Gadis Pantai cukup fatal. Sebab, dari awal hingga akhir novelnya, Pramoedya menyebut tokohnya dengan nama Gadis Pantai.
Oleh : Dian Fitri Nurullah
Nim : E1C112023