ilmu kanuragan terbaik di indonesia tulismenulis.com.jpg

Sejatinya Ilmu Sejati 2

Budaya & Folklor

Lanjutan dari: Sejatinya Ilmu Sejati

“Apa kira-kira yang mereka kehendaki dari Kanjeng Pangeran Jati, Ki?” Tanya Ki Rangga setengah berbisik kepada Ki Kartala.

Mendadak Ki Kartala menghentikan langkahnya, kemudian berkata dengan suara pelan, “Ki Rangga…, diantara yang datang aku dengar ada sekelompok orang yang mengatasnamakan keturunan Gusti Mahapatih Gajah Mada dan bermaksud agar Kanjeng Pangeran Jati memberikan dukungan untuk tegaknya kembali kejayaan kerajaan Majapahit. Oleh karena itu rupanya Njeng Pangeran Jati meminta agar Ki Rangga dan  Jatu Paniris mengambil jalan lain agar tidak terlibat dengan mereka karena Ki Rangga memiliki kaitan khusus dengan Majapahit .”

“Heeee siapakah orang itu Ki..?” Tanya Ki Rangga dengan kaget mendengar penjelasan dari Ki Kartala. Ki Rangga memang sangat terkejut mendengarnya. Kalau benar keturunan Mpu Mada ikut terlibat lagi dalam masalah kekuasaan dan kejayaan Majapahit maka hal ini bukan masalah yang ringan. Demikian pikiran Ki Rangga menanggapi kata-kata dari Ki Kartala. Dan memang sebenarnyalah Ki Rangga yang merupakan salah satu keturunan Prabu Brawijaya dan juga bekas prajurit Majapahit sangat berkaitan dengan masalah ini.

Tiba-tiba raut muka Ki Rangga berubah merah padam. Darahnya serasa mengalir dengan deras dan nafasnya menjadi berat. Kalau berita  ini benar, maka Ki Rangga Jati Kusuma akan memperoleh dukungan dari pihak yang kuat untuk mewujudkan dendam berdarahnya menagih hutang nyawa kakaknya Pangeran Sureng Laksita yang gugur dalam penyerbuan orang-orang Demak Bintara. Inilah rupanya yang membuat raut muka  Ki Rangga Jati Kusuma menjadi berubah. Dan perubahan ini tidak lepas dari pengamatan Ki Kartala.

“Ki Rangga, aku berharap agar Ki Rangga selalu mengingat pesan dari Njeng Pangeran Jati agar tidak pernah lagi memikirkan tentang balas dendam Ki Rangga itu,”  Kata Ki Kartala dengan hati-hati. Ki Rangga menoleh dan kemudian dengan sekuat tenaga mengatasi gejolak perasaanya dengan mengembangkan senyuman yang terlihat masih hambar.

“Ahhh Ki Kartala ini ada-ada saja… Mana berani aku melanggar pesan Njeng Pangeran Jati itu. Bisa kuwalat nanti aku ini… hahaha.” Jawab Ki Rangga Jati Kusuma kemudian sambil tertawa lepas. Tidak ada lagi raut muka yang merah padam dan Ki Kartala pun akhirnya ikut tertawa pula.

“Hahaha…, Ki Rangga telah membuat  jatungku berdebar-debar,” Kata Ki Kartala disela-sela tawanya. Kemudian diambilnya tali kekang kudanya dan dengan sigap Ki Kartala melompat naik ke punggung kuda seraya berujar, “Ki Rangga, lega rasanya aku mendengar kata-kata Ki Rangga tadi. Baiklah Ki, aku pamit dulu. Sampai bertemu di padepokan jangan  lupa mengambil jalan lain. Hati-hati Ki, menurutku sebaiknya Ki Rangga jangan  membuat permasalahan di sepanjang jalan nanti.” Sambil mengucapkan salam, kemudian Ki Kartala menghentakkan kakinya ke badan kudanya dan berlalu melewati pintu regol rumah Ki Rangga Jati Kusuma. Tak lama kemudian debu mulai terlihat berhamburan mengikuti lajunya kuda Ki Kartala.

Bergegas Ki Rangga Jati Kusuma membalikkan badan dan melangkah masuk ke rumahnya. Namun sejenak Ki Rangga tertegun karena di dalam nampak seorang anak remaja telah duduk sambil melihat Ki Rangga yang sedang melewati pintu rumah.

“He rupanya kamu sudah bangun Ngger…” Sapa Ki Rangga kemudian sambil duduk di sebelah anak tersebut.

Dengan sopan Jatu Paniris mengangguk sambil menjawab, “Sudah Paman, aku sudah bangun sejak tamu Paman itu datang. Maafkan aku Paman karena sudah mendengar pembicaraan Paman dengan tamu tadi.” Lanjut Jatu Paniris sambil menundukkan kepalanya.

Ki Rangga menghela nafas panjang. Apa yang akan dilakukan bersama keponakannya Jatu Paniris ternyata tidak perlu lagi dibicarakan terlebih dahulu dengan keponakannya itu. Sebenarnya Ki Rangga merasa berat untuk menyampaikan berita yang dibawa oleh Ki Kartala tadi. Namun perasaan tersebut kemudian hilang bersamaan dengan perkataan Jatu Paniris.

“Lalu bagaimana menurutmu Ngger?” Tanya Ki Rangga kemudian.

“Paman, sebenarnya sebelum tamu Paman tadi datang aku telah bermimpi bertemu dengan Kanjeng Pangeran Jati dalam tidurku dan telah mendapat perintah agar kita harus sudah sampai di Krendhawasa malam ini. Dan ternyata tamu Paman tadi juga membawa berita yang sama…” Ujar Jatu Paniris menanggapi pertanyaan pamannya. Kemudian lanjutnya, “ Kita harus segera bersiap untuk berangkat Paman.”

Ki Rangga menganggukkan kepalanya. Apa yang yang disampaikan keponakannya itu sudah tidak mengherankan baginya. Sebenarnya memang dari beberapa peristiwa di padepokan Krendhawasa yang berkaitan dengan dirinya dan Jatu Paniris selalu dapat diketahui Jatu Paniris melalui mimpi-mimpinya. Mimpi itu selalu memberitahukan apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh mereka berdua khususnya oleh Jatu Paniris keponakannya itu. Oleh karena itu, apa yang menjadi tugas Jatu Paniris secara rinci Ki Ranggapun tidak pernah tahu karena keponakannya itupun jarang memberitahukan apa yang akan dan telah dilakukannya kepada sang paman. Ki Rangga hanya mengetahui bahwa Jatu Paniris akan melakukan sesuatu karena keponakannya itu selalu meminta ijin keluar rumah apabila Jatu Paniris akan melakukan perintah Kanjeng Pangeran Jati lewat mimpinya. Dan setiap selesai mengerjakan tugasnya, maka Jatu Paniris akan pulang ke rumah dalam keadaan yang memprihatinkan karena tubuhnya terlihat demikian lemah tak berdaya. Biasanya keponakannya itu kemudian akan memerlukan waktu sehari semalam untuk memulihkan kondisi tubuhnya agar menjadi segar kembali. Dan Jatu Paniris tidak pernah bercerita apapun kepada pamannya tentang keadaan yang dialami itu. Ki Ranggapun tidak pernah bertanya karena tugas utamanya adalah menjaga keselamatan dan kesehatan keponakannya Jatu Paniris.

Ki Rangga menghela nafas saat mengikuti berlalunya Jatu Paniris menuju ke dalam senthong kiwo (kamar sebelah kiri). Ki Rangga sangat prihatin setiap memperhatikan keponakannya itu. “Kasihan kamu Ngger… seusia ini kamu telah ditinggal kedua orang tuamu. Dan sekarang tugas berat telah menunggumu tanpa dapat meminta bantuan kepada siapapun karena sesungguhnyalah nasib kejayaan Majapahit sekarang berada dalam pundakmu. Ah Kakang Sura Laksita…, semoga putramu ini dapat mikul dhuwur mendem jero nama keluarga kita. Aku berjanji akan mendampingi putramu semampuku.” Demikian Ki Rangga berbicara dalam hati. Sekali lagi Ki Rangga menghela nafas panjang untuk kemudian melangkahkan kakinya menuju senthong tengen (kamar sebelah kanan) untuk bersiap diri.

Beberapa saat kemudian Ki Rangga Jati Kusuma telah selesai bersiap diri untuk melakukan perjalanan ke padepokan Krendhawasa bersama Jatu Paniris. Pada saat Ki Rangga keluar dari kamarnya, maka Jatu Paniris telah menunggu di ruangan yang sederhana itu sambil menenteng bungkusan yang berisi beberapa pakaian untuk ganti selama dalam perjalanan.

“Ngger Jatu Paniris, apakah engkau tidak ingin makan terlebih dahulu?” Tanya Ki Rangga kepada Jatu Paniris.

“Baiklah Paman, bukankah lebih baik kalau kita makan bersama?” Ajak Jatu Paniris kepada pamannya.

Ki Rangga tersenyum mendengar ajakan keponakannya itu. Hati Ki Rangga sangat senang melihat kesopanan Jatu Paniris dan mereka duduk bersama di amben untuk makan bersama sebelum memulai perjalanan ke padepokan Krendhawasa.

Setelah selesai makan dan membersihkan rumah, Ki Rangga Jati Kusuma dan Jatu Paniris lalu meninggalkan rumah mereka untuk memulai perjalanan ke padepokan Krendhawasa. Namun sebelum melangkah keluar dukuh, maka mereka telah singgah di rumah tetangga terdekat untuk memberitahukan kepergian mereka. Bersambung…


Tinggalkan Balasan