ilmu kanuragan sejati tulismenulis.com.jpg

Sejatinya Ilmu Sejati

Budaya & Folklor

SEJATINYA ILMU SEJATI

OLEH : R Panji Dewapermana

“Sajati jatining ngelmu
Lungguhe cipta pribadi
Pustining pangestinira
Gineleng dadya sawiji,
Wijaning ngelmu dyatmika
Neng kahanan ening-ening”

“Hakikat ilmu yang sejati
Letaknya pada cipta pribadi
Maksud dan tujuannya,
Disatukan adanya,
Lahirnya ilmu unggul,
Dalam keadaan hening seheningnya”

(Serat Siti Jenar)

Debu yang beterbangan dengan liar itu terus mengikuti jalannya kuda yang dipacu dengan kencang oleh sang pengendaranya. Kelihatannya sang pengendara ingin secepatnya tiba di tempat yang dituju Sementara raut muka penunggang kuda tersebut nampak tegang dan bermandikan keringat. Tidak lama kemudian matanya menangkap sebuah bangunan rumah di sudut bulakan sawah dan dengan berteriak kencang maka penunggang tersebut seolah memerintahkan kudanya untuk berlari lebih kencang menuju ke arah rumah sederhana tersebut. Sesampainya di pintu regol depan rumah yang amat sederhana itu, pengendara kuda menarik kendali kudanya dan dengan sigap meloncat dari punggung kudanya. Dengan cepat ia mengikatkan tali kendali kuda ke pohon ketapang disamping rumah untuk kemudian berlari-lari ke arah pintu rumah itu.

“Ki Rangga… Ki Rangga… Ki Rangga Jati Kusuma…” Teriaknya dengan kencang sambil terus berlari ke arah pintu rumah itu.

Belum sampai dia di pintu rumah ternyata pintu tersebut sudah dibuka oleh seseorang yang dengan segera pula menyonsong tamunya yang tengah berlari sambil berteriak itu. Mukanya nampak serius saat menyambut tamunya tersebut.

“He ada apakah sehingga kamu begitu tergesa-gesa…, apakah tidak bisa pelan memanggil seseorang?” Tegur orang itu yang kelihatannya adalah Ki Rangga Jati Kusuma.

“Maafkan aku Ki, aku memang khawatir bahwa Ki Rangga sedang tidak ada di rumah. Oleh karena itu aku rupanya tanpa sadar telah berteriak untuk memastikan bahwa Ki Rangga ada di rumah. Maaf Ki apakah aku boleh minta minum dulu…” Kata tamu Ki Rangga Jati Kusuma tersebut sambil duduk menyenderkan badannya di dinding rumah yang terbuat dari bambu, “tetapi aku sangat lega setelah mengetahui Ki Rangga ada di rumah…” lanjutnya sambil menyeka mukanya yang berkeringat itu.

Ki Rangga Jati Kusuma kemudian melangkah menuju pojok rumah dan mengambil sebuah bumbung bambu dan sambil menghampiri tamunya kemudian menyodorkan bumbung bambu yang berisi air ia berkata, “Ki Kartala…, sebenarnya aku memang hendak bepergian semenjak pagi tadi tetapi kemudian aku batalkan karena firasatku tidak enak saat hendak keluar rumah. Ternyata memang benar firasat itu karena sekarang engkau telah datang ke rumah ini. Heee… kenapa Engkau tidak utarakan secepatnya maksud kedatanganmu ini?”

“Ki Rangga Jati Kusuma, dimanakah keponakanmu si Jatu Paniris itu?” Tanya Ki Kartala sambil melayangkan pandangannya ke sekeliling ruangan rumah.

Ki Rangga Jati Kusuma menjawab, “Ia sekarang sedang tidur karena semalam melakukan laku yang harus ia jalani. Hee apakah Engkau kemari karena berkaitan dengan keponakanku itu?” lanjutnya sambil melangkah menghampiri Ki Kartala dan duduk disampingnya. Terdengar suara amben bambu berderak menahan berat tubuh kedua orang tersebut.

“Ki Rangga, sesungguhnya aku memang diutus oleh Kanjeng Pangeran Jati untuk memberitahukan kepada Ki Rangga agar nanti malam Ki Rangga dan angger Jatu Paniris harus sudah ada di padepokan Krendhawasa. Namun Kanjeng Pangeran Jati berpesan agar Ki Rangga tidak mengambil jalan umum…” Kata Ki Kartala menjawab pertanyaan Ki Rangga Jati Kusuma tadi.

Ki Rangga Jati Kusuma menghela nafas panjang dan tidak langsung menanggapi perkataan Ki Kartala. Pikirannya melayang mengingat beberapa waktu lalu saat terakhir bertemu dengan Kanjeng Pangeran Jati di padepokan Krendhawasa. Kedatangannya ke padepokan tersebut sebenarnya untuk mencari keluarga mendiang kakaknya Pangeran Sura Laksita yang telah gugur dalam peristiwa peperangan antara Majapahit dengan pasukan Demak Bintara beberapa tahun lalu.

Peperangan yang terjadi karena penyerbuan pasukan Demak Bintara ke kota raja Majapahit itu benar-benar tidak dapat dimengerti oleh Ki Rangga Jati Kusuma dan seluruh keluarga kerajaan Majapahit. Bagaimana mungkin seseorang yang telah dilarung dan kemudian diterima kembali dengan baik oleh Rama Prabu Brawijaya dan diberi wewengkon yang subur untuk menjadi tempat kamukten sehingga akhirnya ia menjadi orang yang terhormat tiba-tiba bisa menjadi seseorang yang lupa kepada asal-usulnya bagaikan kacang ninggal lanjaran. Menyerang dan menghancurkan Majapahit, mengusir Sang Raja yang juga Ramandanya sendiri yang telah banyak memberikan kamukten tersebut.

Ki Rangga adalah seorang prajurit Majapahit yang terlibat langsung dalam peperangan tersebut dan menyaksikan betapa sang kakak Pangeran Sura Laksita yang ikhlas menjadi tumbal dalam pabaratan untuk menyelamatkan sang Rama Prabu Brawijaya bertempur melawan prajurit dari Demak Bintara. Dan pada saat Ki Rangga Jati Kusuma hendak mencoba menolong maka keluarlah perintah sang Ramandanya untuk segera meninggalkan keraton mengawal Prabu Brawijaya beserta para keluarga kerajaan. Namun Ki Rangga Jati Kusuma masih sempat melihat beberapa orang yang memakai pakaian tidak selayaknya pakaian seorang prajurit telah menghabisi kakaknya Ki Rangga. Wajah yang diingat Ki Rangga Jati Kusuma adalah wajah orang asing yang sangat berbeda dengan wajah kebanyakan orang Jawa. Wajah itu bermata sipit dan berkulit kuning pucat.

“Ki Rangga…, sebaiknya Ki Rangga Jati Kusuma dan Angger Jatu Paniris segera bersiap diri untuk segera berangkat. Waktu Ki Rangga tidak terlalu banyak lagi,” Kata Ki Kartala memecah keheningan suasana, “akupun harus segera kembali ke padepokan untuk melaporkan tugas yang aku emban ini.” lanjutnya setelah mengetahui Ki Rangga Jati Kusuma lama belum memberikan tanggapan atas perkataannya itu.

Bagaikan bangun dari mimpinya, Ki Rangga Jati Kusuma kemudian menoleh kepada Ki Kartala dan tersenyum seraya berkata, “Baiklah Ki Kartala, aku akan segera membangunkan Jatu Paniris keponakanku itu dan segera bersiap untuk berangkat ke padepokan. Memang betul waktu kami tidak banyak karena perjalanan akan memakan waktu setengah hari apalagi harus melalui jalan melingkar. Bagaimana suasana padepokan saat ini Ki Kartala?”

“Beberapa hari ini padepokan banyak kedatangan tamu Ki. Beberapa rombongan nampaknya ingin bertemu dengan Kanjeng Pangeran Jati. Rombongan yang berbeda-beda. Kelihatannya tujuannyapun berbeda-beda, Ki” Jawab Ki Kartala sambil berdiri bersiap untuk pamit diri.

“He bukankah setelah kejadian di Giri Kedhaton tahun lalu Kanjeng Pangeran Jati tidak ingin terlibat dengan masalah duniawi lagi?” Tanya Ki Rangga Jati Kusuma yang ikut berdiri dan mengiringi langkah Ki Kartala berjalan ke arah pintu rumah dan segera membukakan pintu tersebut, sehingga Ki Kartala melenggang melewati pintu rumah keluar menuju ke arah kudanya yang ditambatkan di pohon ketapang yang rindang di samping rumah Ki Rangga Jati Kusuma.

Sambi berjalan beriringan dengan Ki Rangga, Ki Kartala kemudian menjawab, “ Itulah Ki…, nampaknya ada beberapa orang yang kurang setuju dengan keputusan Kanjeng Pangeran Jati sehingga sebelum waktu yang diberikan Njeng Sunan Giri habis maka orang-orang itu datang menemui Kanjeng Pangeran Jati.”

“Apa kira-kira yang mereka kehendaki dari Kanjeng Pangeran Jati, Ki?” Tanya Ki Rangga setengah berbisik kepada Ki Kartala.

Mendadak Ki Kartala menghentikan langkahnya, kemudian berkata dengan suara pelan, “Ki Rangga…, diantara yang datang aku dengar ada sekelompok orang yang mengatasnamakan keturunan Gusti Mahapatih Gajah Mada dan bermaksud agar Kanjeng Pangeran Jati memberikan dukungan untuk tegaknya kembali kejayaan kerajaan Majapahit. Oleh karena itu rupanya Njeng Pangeran Jati meminta agar Ki Rangga dan Jatu Paniris mengambil jalan lain agar tidak terlibat dengan mereka karena Ki Rangga memiliki kaitan khusus dengan Majapahit .”

“Heeee siapakah orang itu Ki..?” Tanya Ki Rangga dengan kaget mendengar penjelasan dari Ki Kartala. Ki Rangga memang sangat terkejut mendengarnya. Kalau benar keturunan Mpu Mada ikut terlibat lagi dalam masalah kekuasaan dan kejayaan Majapahit maka hal ini bukan masalah yang ringan. Demikian pikiran Ki Rangga menanggapi kata-kata dari Ki Kartala. Dan memang sebenarnyalah Ki Rangga yang merupakan salah satu keturunan Prabu Brawijaya dan juga bekas prajurit Majapahit sangat berkaitan dengan masalah ini.

Tiba-tiba raut muka Ki Rangga berubah merah padam. Darahnya serasa mengalir dengan deras dan nafasnya menjadi berat. Kalau berita ini benar, maka Ki Rangga Jati Kusuma akan memperoleh dukungan dari pihak yang kuat untuk mewujudkan dendam berdarahnya menagih hutang nyawa kakaknya Pangeran Sureng Laksita yang gugur dalam penyerbuan orang-orang Demak Bintara. Inilah rupanya yang membuat raut muka Ki Rangga Jati Kusuma menjadi berubah. Dan perubahan ini tidak lepas dari pengamatan Ki Kartala.

“Ki Rangga, aku berharap agar Ki Rangga selalu mengingat pesan dari Njeng Pangeran Jati agar tidak pernah lagi memikirkan tentang balas dendam Ki Rangga itu,” Kata Ki Kartala dengan hati-hati. Ki Rangga menoleh dan kemudian dengan sekuat tenaga mengatasi gejolak perasaanya dengan mengembangkan senyuman yang terlihat masih hambar.

“Ahhh Ki Kartala ini ada-ada saja… Mana berani aku melanggar pesan Njeng Pangeran Jati itu. Bisa kuwalat nanti aku ini… hahaha.” Jawab Ki Rangga Jati Kusuma kemudian sambil tertawa lepas. Tidak ada lagi raut muka yang merah padam dan Ki Kartala pun akhirnya ikut tertawa pula.

“Hahaha…, Ki Rangga telah membuat jatungku berdebar-debar,” Kata Ki Kartala disela-sela tawanya. Kemudian diambilnya tali kekang kudanya dan dengan sigap Ki Kartala melompat naik ke punggung kuda seraya berujar, “Ki Rangga, lega rasanya aku mendengar kata-kata Ki Rangga tadi. Baiklah Ki, aku pamit dulu. Sampai bertemu di padepokan jangan lupa mengambil jalan lain. Hati-hati Ki, menurutku sebaiknya Ki Rangga jangan membuat permasalahan di sepanjang jalan nanti.” Sambil mengucapkan salam, kemudian Ki Kartala menghentakkan kakinya ke badan kudanya dan berlalu melewati pintu regol rumah Ki Rangga Jati Kusuma. Tak lama kemudian debu mulai terlihat berhamburan mengikuti lajunya kuda Ki Kartala.

Bergegas Ki Rangga Jati Kusuma membalikkan badan dan melangkah masuk ke rumahnya. Namun sejenak Ki Rangga tertegun karena di dalam nampak seorang anak remaja telah duduk sambil melihat Ki Rangga yang sedang melewati pintu rumah.

“He rupanya kamu sudah bangun Ngger…” Sapa Ki Rangga kemudian sambil duduk di sebelah anak tersebut.

Dengan sopan Jatu Paniris mengangguk sambil menjawab, “Sudah Paman, aku sudah bangun sejak tamu Paman itu datang. Maafkan aku Paman karena sudah mendengar pembicaraan Paman dengan tamu tadi.” Lanjut Jatu Paniris sambil menundukkan kepalanya.

Ki Rangga menghela nafas panjang. Apa yang akan dilakukan bersama keponakannya Jatu Paniris ternyata tidak perlu lagi dibicarakan terlebih dahulu dengan keponakannya itu. Sebenarnya Ki Rangga merasa berat untuk menyampaikan berita yang dibawa oleh Ki Kartala tadi. Namun perasaan tersebut kemudian hilang bersamaan dengan perkataan Jatu Paniris.

“Lalu bagaimana menurutmu Ngger?” Tanya Ki Rangga kemudian.

“Paman, sebenarnya sebelum tamu Paman tadi datang aku telah bermimpi bertemu dengan Kanjeng Pangeran Jati dalam tidurku dan telah mendapat perintah agar kita harus sudah sampai di Krendhawasa malam ini. Dan ternyata tamu Paman tadi juga membawa berita yang sama…” Ujar Jatu Paniris menanggapi pertanyaan pamannya. Kemudian lanjutnya, “ Kita harus segera bersiap untuk berangkat Paman.”

Ki Rangga menganggukkan kepalanya. Apa yang yang disampaikan keponakannya itu sudah tidak mengherankan baginya. Sebenarnya memang dari beberapa peristiwa di padepokan Krendhawasa yang berkaitan dengan dirinya dan Jatu Paniris selalu dapat diketahui Jatu Paniris melalui mimpi-mimpinya. Mimpi itu selalu memberitahukan apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh mereka berdua khususnya oleh Jatu Paniris keponakannya itu. Oleh karena itu, apa yang menjadi tugas Jatu Paniris secara rinci Ki Ranggapun tidak pernah tahu karena keponakannya itupun jarang memberitahukan apa yang akan dan telah dilakukannya kepada sang paman. Ki Rangga hanya mengetahui bahwa Jatu Paniris akan melakukan sesuatu karena keponakannya itu selalu meminta ijin keluar rumah apabila Jatu Paniris akan melakukan perintah Kanjeng Pangeran Jati lewat mimpinya. Dan setiap selesai mengerjakan tugasnya, maka Jatu Paniris akan pulang ke rumah dalam keadaan yang memprihatinkan karena tubuhnya terlihat demikian lemah tak berdaya. Biasanya keponakannya itu kemudian akan memerlukan waktu sehari semalam untuk memulihkan kondisi tubuhnya agar menjadi segar kembali. Dan Jatu Paniris tidak pernah bercerita apapun kepada pamannya tentang keadaan yang dialami itu. Ki Ranggapun tidak pernah bertanya karena tugas utamanya adalah menjaga keselamatan dan kesehatan keponakannya Jatu Paniris.

Ki Rangga menghela nafas saat mengikuti berlalunya Jatu Paniris menuju ke dalam senthong kiwo (kamar sebelah kiri). Ki Rangga sangat prihatin setiap memperhatikan keponakannya itu. “Kasihan kamu Ngger… seusia ini kamu telah ditinggal kedua orang tuamu. Dan sekarang tugas berat telah menunggumu tanpa dapat meminta bantuan kepada siapapun karena sesungguhnyalah nasib kejayaan Majapahit sekarang berada dalam pundakmu. Ah Kakang Sura Laksita…, semoga putramu ini dapat mikul dhuwur mendem jero nama keluarga kita. Aku berjanji akan mendampingi putramu semampuku.” Demikian Ki Rangga berbicara dalam hati. Sekali lagi Ki Rangga menghela nafas panjang untuk kemudian melangkahkan kakinya menuju senthong tengen (kamar sebelah kanan) untuk bersiap diri.

Beberapa saat kemudian Ki Rangga Jati Kusuma telah selesai bersiap diri untuk melakukan perjalanan ke padepokan Krendhawasa bersama Jatu Paniris. Pada saat Ki Rangga keluar dari kamarnya, maka Jatu Paniris telah menunggu di ruangan yang sederhana itu sambil menenteng bungkusan yang berisi beberapa pakaian untuk ganti selama dalam perjalanan.

“Ngger Jatu Paniris, apakah engkau tidak ingin makan terlebih dahulu?” Tanya Ki Rangga kepada Jatu Paniris.

“Baiklah Paman, bukankah lebih baik kalau kita makan bersama?” Ajak Jatu Paniris kepada pamannya.

Ki Rangga tersenyum mendengar ajakan keponakannya itu. Hati Ki Rangga sangat senang melihat kesopanan Jatu Paniris dan mereka duduk bersama di amben untuk makan bersama sebelum memulai perjalanan ke padepokan Krendhawasa.

Setelah selesai makan dan membersihkan rumah, Ki Rangga Jati Kusuma dan Jatu Paniris lalu meninggalkan rumah mereka untuk memulai perjalanan ke padepokan Krendhawasa. Namun sebelum melangkah keluar dukuh, maka mereka telah singgah di rumah tetangga terdekat untuk memberitahukan kepergian mereka.

“Apakah Ki Bawur ada di rumah, Ngger?” Tanya Ki Rangga kepada seorang anak muda ketika telah memasuki regol rumah tetangganya itu.

“Ada Paman, silahkan masuk dulu. Kebetulan Ayah baru saja pulang dari ladang,” Jawab anak muda itu yang kemudian masuk ke dalam rumahnya.

Tak lama kemudian datanglah Ki Bawur menemui dan menyapa tamunya dengan ramah, “O Ki Rangga Jati Kusuma rupanya yang mertamu to, kok sepertinya mau pergi bersama Angger Jatu Paniris Ki?”

Ki Rangga Jati Kusuma dan Jatu Paniris segera berdiri dan mengangguk hormat kepada Ki Bawur. “Maaf Ki Bawur kami telah mengganggu waktu istirahat Ki Bawur. Sebenarnya memang kami mampir untuk memberitahukan kepada Ki Bawur bahwa kami hendak pergi meninggalkan rumah untuk sementara waktu Ki,” demikian Ki Rangga menjawab pertanyaan Ki Bawur.

Ki Bawur kemudian tersenyum. Rupanya dia segera mengetahui maksud kedatangan tamunya itu sehingga Ki Bawurpun berkata, “Jangan khawatir Ki Rangga, rumah yang kalian tempati akan kami jaga. Mudah-mudahan perjalanan kalian menyenangkan dan kembali ke rumah dengan selamat tidak kurang sesuatupun.”

“Terima kasih Ki, maafkan kami karena telah sering merepotkan Ki Bawur,” kata Ki Rangga kemudian. Rasa sungkan dan segan kemudian muncul dalam diri Ki Rangga karena memang telah beberapa kali Ki Rangga meminta tolong kepada Ki Bawur untuk menjaga rumah yang ia tempati bersama keponakannya Jatu Paniris. Sebenarnyalah rumah itu milik Ki Bawur dan Ki Rangga telah menyewanya untuk beberapa bulan dengan harga yang sangat baik.

“Hahaha, kenapa Ki Rangga menjadi seperti itu? Bukankah kita hidup memang untuk saling tolong-menolong,” Sahut Ki Bawur dengan disertai senyum lebarnya. Senyum yang tulus karena bagi penghuni padukuhan itu, menolong sesama adalah sesuatu yang wajar dan biasa saja.

“Baiklah Ki Bawur, sebaiknya kami segera pamitan karena perjalanan kami kali ini memakan waktu yang tidak sebentar sehingga kami berharap tengah malam nanti kami sudah bisa sampai di tempat tujuan,” lanjut Ki Rangga.

“Silahkan Ki Rangga, jangan lupa berhati-hatilah di jalan Ki. Saat ini banyak orang yang sedang melewati padukuhan ini karena kemarin Ki Buyut telah mengumpulkan kami semua dengan pesan agar berhati-hati dalam beberapa hari ini karena banyak orang yang berlalu-lalang melewati padukuhan ini. Kelihatannya mereka semua menuju ke padepokan Krendhawasa. Begitulah yang disampaikan pimpinan padukuhan ini Ki,” kata Ki Bawur dengan sunguh-sungguh.

Ki Rangga Jati Kusuma dan Jatu Paniris saling memandang. Kemudian Ki Rangga menganggukkan kepalanya pertanda menyimak apa yang telah disampaikan Ki Bawur itu. Selanjutnya dengan menganggukkan kepalanya dengan hormat Ki Rangga berkata, “Terima kasih atas informasinya Ki Bawur. Kami akan berhati-hati dalam melakukan perjalanan kami ini. Kami berangkat sekarang Ki,”

Ki Bawurpun menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Silahkan Ki Rangga dan Angger Jatu Paniris, selamat jalan. Semoga Hyang Widhi selalu melindungi kalian.”

Ki Rangga Jati Kusuma dan Jatu Paniris pun kemudian melangkahkan kaki mereka meninggalkan rumah Ki Bawur menuju jalan padukuhan yang nampak kering berdebu karena panas matahari yang menyengat yang membuat jalan tanah tersebut bagaikan dipanggang.

“Ngger Jatu Paniris, di depan kita itulah jalan yang menuju padepokan lewat sisi barat. Kelihatannya itu jalan yang dimaksud Kanjeng Pangeran Jati yang harus kita lewati. Namun jalan itu akan sedikit mendaki karena harus melewati sisi bukit,” kata Ki Rangga Jati Kusuma saat melihat jalan di depan bercabang dimana jalan ke arah kiri mereka adalah jalan yang besar sedangkan yang ke arah kanan adalah jalan kecil menuju lereng bukit.

Jatu Paniris menganggukkan kepalanya kemudian menjawab, ”Betul Paman, kelihatannya memang itulah jalan yang dimaksud.”

Tidak berapa lama maka mereka telah sampai di persimpangan jalan tersebut dan segera mengambil arah kanan yang menuju lereng bukit memasuki hutan perdu dan pohon-pohon yang rindang. Namun belum berapa lama mereka berjalan, tiba-tiba mereka mendengar suara lari kuda sehingga Ki Rangga dengan cekatan menarik Jatu Paniris menuju ke rerimbunan perdu untuk bersembunyi. Sesaat kemudian mereka melihat berlalunya beberapa kuda yang dikendarai dengan cepat melewati jalan yang menuju arah kiri. Setelah semua kuda itu berlalu maka Ki Rangga dan Jatu Paniris kemudian keluar dari gerumbulan perdu sambil mengibaskan tangan mereka membersihkan beberapa potongan perdu yang menempel di pakaian mereka. Ki Rangga menghela nafas, kemudian berkata, “Kelihatannya mereka tidak akan mengambil jalan ini. Namun sebaiknya kita secepatnya meninggalkan daerah ini agar tidak bertemu dengan mereka yang sedang menuju padepokan.”

Maka kemudian keduanya berjalan lebih cepat meninggalkan persimpangan jalan dan segera memasuki hutan. Sementara itu, matahari sudah mulai kelihatan condong ke barat menandakan sore hari akan segera datang. Ki Rangga memperhitungkan perjalanan mereka akan sudah mencapai setengah perjalanan manakala gelap malam mulai datang dan itu berarti mereka sudah mencapai sisi barat perbukitan untuk kemudian mengambil arah ke selatan menyusuri sebuah sungai yang banyak digunakan orang untuk mengairi persawahan mereka. Mudah-mudahan mereka benar-benar tidak akan bertemu dengan orang-orang yang ingin menuju ke padepokan Krendhawasa. Demikian hati Ki Rangga terus berharap. Dan mereka pun terus berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh semak belukar dan perdu serta hutan. Pepohonan yang lebat telah membuat daun-daunnya menghalangi teriknya matahari menyengat kulit kedua orang itu. Bagi Ki Rangga perjalanan ini memang bukanlah perjalana pertama kali namun dia sudah pernah melewati jalur ini beberapa kali. BERSAMBUNG……. KE SEJATINYA ILMU SEJATI 2


Tinggalkan Balasan