TENTANG LEBAH LINDEN
“Aku mengantuk, Kak. Lebih baik aku tidur saja”
“Dasar hantu kamar. Ini baru jam sepuluh malam” ia mulai mengejekku.
“Aku bukan hantu kamar, Kakak. Jangan memanggilku seperti itu. Jelas-jelas saat ini aku tidak mengantuk di kamar”
“Kalau bukan hantu kamar, apalagi nama yang cocok untukmu, Ayik?” ia tertawa keras. “Terserahlah. Aku hanya ingin tidur” jawabku tak mengacuhkannya, menjadikan kedua tanganku sebagai bantal di atas meja.
“Kamu udah nggak nulis lagi, kah?” ia bertanya lagi. “Masih kok. Kenapa?” tanyaku dengan mata terpejam. “Blog kamu sepi” jawabnya singkat. Aku membuka mata, menatap miris ke arahnya. “Kenapa?” tanyanya khawatir “Aku lupa. Password plus usernamenya”. Ia tertawa, panjang dan keras atau lebih disebut ngakak berkepanjangan. Aku mengutuk diri, menyesal sudah memberitahukan yang sebenarnya. Menyandarkan kembali kepalaku pada meja panjang di hadapan kami, setelah kuucapkan kata ‘jahat’ padanya. “Kamu memang benar-benar hantu kamar yang pikun, atau mungkin kamu lebih memilih fan pagah dan pikun?” tanyanya menggodaku. Aku mengembungkan pipi. “Aku pasti tidak akan memilih dua-duanya, Kakak” jawabku pasti, ia tertawa lagi.
“Kamu mau kakak buatkan blog?” ia mengubah topik pembicaraan. Aku mengangguk cepat, takut ia akan menelan pertanyaan tadi walau sebenarnya tak pernah begitu. “Namanya apa?”
“Besok pagi aja aku kasi tau. Nama itu sesuatu yang sakral, jadi harus dipikirin lama, Kakak” jawabku sekenanya.
“Kakak nggak mau. Harus malam ini, Ayik”
“Kakak sengaja, ya. Biar aku nggak tidur?” tanyaku memastikan. Ia hanya tersenyum simpul. Aku tesenyum kecut, ”Kakak, aku mengantuk” ucapku memberitahu. “Kakak juga lelah, Ayik” jawabnya lagi. “Jadi, kenapa kakak tidak pergi beristirahat?” “Karena kamu mau sebuah blog dan kakak mau membuatkannya sekarang”. Baiklah, aku mengalah dan mulai memikirkan nama untuk blog baru yang sudah menunda tidurku ini.
“Seharusnya kakak yang mengambil tanggung jawab tentang nama, yang jelas aku tidak akan rela jika terselip kata ‘pagah’ atau ‘hantu kamar’ di sana”. Ia tertawa, “Kamu baru saja menyebutkan kata yang ada di pikiran Kakak, Ayik”. Aku menganga, “Kakak sungguhan jahat jika menggunakan kata-kata itu” ucapku sambil menatapnya tajam. Ia hanya tersenyum, “Tapi itu sangat cocok buatmu, Ayik” jawabnya pelan, sambil tertawa. “Nggak!” kataku tegas. Ia kembali tertawa.
“Aku mau yang ada kata linden atau warunya” ucapku memecah keheningan. “Kenapa?” tanyanya pelan. “Entahlah, sepertinya kata itu cocok buatku. Aku harus punya nama yang girlish, Kakak” jawabku mantap. “Bagaimana kalau tawon pagah atau pensil pagah?” tanyanya dengan tampang berpikir penuh. Aku menatap tajam, ia kembali tertawa pelan.
“Capung linden, capung waru, kupu-kupu linden, kupu-kupu waru” kuucapkan kalimat itu berulang kali sambil meminta persetujuannya. “Tawon linden? Atau tawon waru?” tanyanya. “Aku tak suka tawon, Kakak. Terlalu kejam” jawabku sambil tertawa. “Lebah linden” ucapnya lagi. Aku berpikir keras, tak lama kemudian mengangguk senang.
***
“Kenapa harus menari di bawah sejuta cerita? Kenapa kakak memilih kata menari?” tanyaku keesokan harinya. “Lebah kerjaannya apa coba?” ia balik bertanya. “Bikin madu” jawabku sambil tertawa. “Ya udah, bikin madunya di bawah pohon sejuta cerita”. “Kakak nggak jelas” jawabku sekenanya. “Sepertinya aku akan menulis cerita setelah menari, Kak. Setelah mempelajari semuanya berdasarkan caraku, setelah aku tahu untuk apa aku menulis. Aku merasa, aku tak dapat menuliskan sesuatu sebelum aku benar-benar mengalaminya. Apa Kakak berpikiran sama?”. Ia hanya tersenyum, “Menarilah!” jawabnya pelan.