Wajah yang Retak

Cerpen, Fiksi

bentuk wajah lovebscotat

 

 

 

 

 

Aku tidak tahu, ini sudah hari keberapa aku tak melihat senyum itu lagi. Sudah tidak ada hingar bingar yang ku temukan setiap pagi mulai menyapa. Yang ada hanya kebekuan rasa. Tak ada kehangatan dari sapaannya. Yaa.. walaupun sinar matahari sama hangatnya untuk merengkuh tubuh ini. Tapi tak ada lebih hangat darinya.

Jauh aku memandang, menerawang ketajaman hati untuk melihat yang tak mampu untuk ku raba. Wajahnya yang kini mulai memudar dari ingatanku. Terus kucari, tapi hasilnya tetap nihil. Tak pernah ku ingat lagi. Wajah yang dulu selalu menghias cerita-cerita dirumah ini. Tapi hari ini tak ku temukan lagi. Entah hilang kemana. Meninggalkan kami, aku dan ibu.

Tapi ibu selalu berpesan padaku “ dialah payung kehidupan kita” aku tak tahu kenapa ibu selalu berkata seperti itu. Apa karena ia begitu mencintainya..? atau lelaki itu itu sangat berharga dalam hidupnya? Jawabannya masih ku cari.

Ku tatap langit pagi ini… kulihat segerombolan burung menari-nari, seolah alunan musik sang alam menggelitikkan sayap-sayapnya. Akupun ikut tergelitik, sunggu ini adalah ciptaan Tuhan yang sangat lucu. Bagaimana tidak, namaku adalah salah satu dari nama mereka, burung nuri. Yaa namaku Nuri.

Aku ingat sekali dulu disaat almarhum kakek sering mengantarkan seikat bunga mawar untukku setiap sore, ia selalu memanggilku “burungku sayaang” hehe entah kenapa kakek selalu melakukan itu setiap hari, apa karena ada kebun bunga mawar dihalan belakang rumahya. Ya atau itu ungkapan rasa kasih sayangnya untukku. Ya, yang aku tahu dia begitu menyayangiku, begitupun rasa cintanya terhadap ibu.

Aku jadi ingat sosok yang sangat memuakkan kini merambas alam fikirku. Dia yang meninggalkan kami semenjak sepuluh tahun yang lalu, mencampakkan ibu hanya demi seorang wanita jalang yang selalu berpoles untuk menarik lelaki hidung belang. Make-up yang penuh warna menempel dikulit wajahnya, tidak mahal tapi disulap jadi sedikit berkelas. Dia adalah lelaki yang dicintai ibu, yang jika ku panggil ia dengan sebutan ‘ayah’ aku sedikit tergelitik. Mungkin bisa dikatakan saat ini aku membencinya. Dia pergi, tak ada telepon, tak ada surat, tak ada kabar. Hanya meninggalkan luka dihati ibu. Kini tak ada jejak untuknya dihatiku.

Aku hampir lupa karena keasikan memandang langit biru yang menyihir matku pagi ini. Ibu harus aku bangunkan untuk ku masakkan air. Aku cepat berlalu dari jendela kamar untuk mengoknya dikamarnya.

“ibu.. apakah ibu sudah bangun?” tanyaku pelan sambil setengah berbisik ketelinganya. Aku sebenarnya tak enak hati untuk membangunkannya. Ku lihat sekeliling kamar ini, tak ada jejak ayah lagi. Mungkin wajah ayah yang terbingkai dalam sebuag frame berukuran 30×20 cm yang tepasang jelas di tembok yang hampir memudar warnanya kini sudah tak ada lagi.

Tapi ku coba sekali lagi tak ada jawaban. Kulihat denhgan penuh teliti. Wajahnya kini telah menua, garis-garis dibibirnya yang tipis membuatnya begitu cantik dikala terlelap tidur. Entah apa yang sedang ia impikan,mungkin mimipi indah yang membuatnya enggan untuk terbangun. Aku tidak tahu.

Oh, ibu. kau terlihat letih sekali, tapi senyum tipismu membuat wajamu yang semakin keriput membuat hatiku menjadi sejuk.

Aku harus segera pergi untuk mengajar anak-anak sekampung. Ada bimbingan belajar yang akan aku laksanakan, ini adalah tugas dari Pak RT, ia sangat percaya padaku, meskipun aku hanya lulusan Sekolah Menengah Atas. Prestasiku dulu cukup bagus sehingga aku mendapat beasiswa disalah satu perguruan tinggi di kota sana. Tapi aku tak mengambilnya lantaran umur ibu yang sudah sangta tua tak memberanikanku untuk meniggalkannya. Aku tak tega walalupun aku memiliki cita-cita sebagai seorang Dosen, tapi ku kubur impian itu untuk sementara. Setidaknya hari ini kau bisa mengajar anak-anak di kampung ini.

Disebuah rumah-rumahan ditengah sawah, yang terbuat dari batang bambu beratapkan tembikar. Dengan pemandangan hijaunya padi yang bergoyang tertiup angin, menambah suasana segar untuk menyampaikan ilmu bagi anak-anak hari ini.

Hari ini aku tak membawa kue untuk ku antarkan ke beberapa kios kecil sekitar sini, karena hari ini ibu tak membuat kue. Mungkin ibu ingin istirahat sehari, karena ia terlalu letih untuk membuat kue hari ini. Jadi kubiarkan ia untuk beristirahat di kamar tanpa membangunkannya sedikitpun. Aku tak ingin mengganggu mimpi indahnya.

Semenjak ayah pergi kami berdua harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yaah inilah kehidupann terkadang memihak terkadang. Aku juga tak tahu jawabannya.

***

Ada sekotak kue cokelat yang diberikan Pak RT untuk ku. Katanya istrinya membuatkannya dirumah. Alhamdulillah ada oleh-oleh hari ini untuk ibu. Ibu pasti bahagia dan suka makan kue ini. Aku menjadi tak sabar untuk segera pulang kerumah.

Hari ini aku sedikit merasa aneh. Akhir-akhir ini ada perasaan yang selalu mengganggu ku untuk selalu ingin melihat wajah ibu. Mungkin karena aku selalu ingin dekat dengannya. Aku merindukannya hari ini.

Jejak langkahku semakin ku percepat, setengah berlari kira-kira.

Nafasku terengah–engah. Rasanya aku setengah pingsan untuk barjalan cepat sperti tadi. Ku lihat dari jauh, kenapa rumahku kedatangan orang-orang sekampung. Rasanya tumben sekali. Ku tatap wajah mereka dengan penuh Tanya, mereka hanya membalas tatapanku dengan diam. Aku semakin tak mengerti, ada apa sebenarnya. Ku lihat ada sosok lelaki tua berdiri di depan pintu. Dengan penuh penasaran aku ingin menghampirinya, tapi dia yang lebih dulu menghampiriku.

“Nak, ini ada titipan untukmu dari ibumu, bacalah agar kau mengerti, masuklah kedalam dia sudah menuggumu sejak tadi” katanya sambil memberiku sebuah buku harian berwarna merah yang telah using warnanya dan tak memberi tahuku apa yang sebenarnya terjadi.

Ku masuki ruang tengah yang menghubungkan dengan dapur tempat biasanya ibu menghabiskan waktu, ada ibu-ibu yang menghampiriku dengan mata sembab. Ia mengatakan “Nuri, tabahkanlah hatimu, ibumu sudah berada di Surga sana.”

Kakiku seakan patah. Aku tak sanggup untuk menopang raga yang sudah ingin roboh mendengar berita itu. Aku tak tahu berapa air mataku yang telah terjatuh.

“Ibuu…..!!!! jangan tinggalkan aku sendiri, siapa lagi tempatku bersandar selain pundakmu?”

Ibu tak bergerak sedikitpun, wajahnya terbujur kaku. Senyumnya sama disaat terakhir aku meninggalkannya tadi pagi.

***

Selesai pemakaman aku hanya berdiam diri di kamar. Membuka lembar demi lembar setiap kata yang ditulis ibu. Tentang isi hatinya, masa lalunya bersama ayah. Kubaca dengan penuh haru, ternyata ayah begitu mencintai ibu sama seperti perasaan ibu untuknya.

Lembaran terakhir kubuka. Ibu menilus ini tepat sehari sebelum ia meniggalkanku

“ Dalam lamunanku yang terdalam, aku menangis oleh dukaku yang berkarat.. bukan sakit, tapi luka.. mengejar bayang yang tak bisa digenggam.. hanyalah angan yang masih terlukis dilangit malam.. mencari dari apa aku dibuat dari sebagian dalam dirinya.. yang ku harap untuk bernaung dibawah sahajanya menuju Ridha Illahi yang Agung.. bukan untuk apa,, tapi untuk cinta yang dianugerahkan Tuhan untuk kita.. ini dia untuk sang kekasih hati.. suamiku tercinta….”

Aku menangis. Bagaimana penantian ibu selama bertahun-tahun menunggu ayah.

Dalam bukunya, ibu mengatakan bahwa ayah pergi bukan Karena mencapakkan kita, tapi ia di penjara karena tuduhan memperkosa seorang wanita malam saat ia hendak pulang kerumah dari tempat kerjanya sebagai buruh di tempat pembuatan keripik singkong.

Ibu tak ingin aku tahu karena tak mau aku harus tahu dan sedih. Karena waktu itu aku masih duduk dibangku sekolah dasar. Tapi mengapa ibu tak ceritakan sekarang. Sebelum ajal menjemputnya. Mungkin ibu tak sanggup melihatku menangisi keadaan ayah.

Ibu juga mengatakan bahwa ayah akan segera bebas. Tinggal satu tahun masa tahanannya. Yaah, aku sudah mengerti akan semuanya.

“Aku akan tunggu ayah disini.. di rumah kita”

*******

Oleh:

Hani agustina


Tinggalkan Balasan